Site icon LapakViral24

Protes Masyarakat Bali Saat Pembangunan Lift Kaca Di Pantai Kelingking Nusa Penida Dimulai Lagi

Protes Masyarakat Bali Saat Pembangunan Lift Kaca Di Pantai Kelingking Nusa Penida Dimulai Lagi
Protes Masyarakat Bali Saat Pembangunan Lift Kaca Di Pantai Kelingking Nusa Penida Dimulai Lagi

Protes Masyarakat Bali, pembangunan lift kaca di Pantai Kelingking, Nusa Penida, telah menjadi salah satu proyek wisata paling kontroversial di Bali dalam beberapa tahun terakhir. Ide awal pembangunan lift ini bermula dari meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan yang ingin mencapai dasar pantai Kelingking. Sebuah pantai kecil nan indah yang berada jauh di bawah tebing curam berbentuk ikon “T-Rex”. Proyek ini di kembangkan oleh PT Bangun Nusa Properti sebagai bagian dari rencana besar menjadikan Nusa Penida sebagai kawasan wisata kelas dunia dengan fasilitas premium yang di anggap mampu menarik wisatawan berdaya beli tinggi.

Kritik pertama datang dari pemerhati lingkungan di Bali. Yang menilai bahwa pembangunan lift setinggi hampir 180 meter tersebut berpotensi merusak estetika alam tebing yang menjadi daya tarik utama pantai itu sendiri. Pantai Kelingking bukan sekadar tempat wisata biasa; ia telah menjadi ikon fotografi global.

Bali memiliki sejumlah regulasi penataan ruang yang mengatur pembangunan di pesisir. Termasuk pembatasan ketat terhadap konstruksi permanen di dekat tebing yang rentan terhadap erosi dan longsor. Penggalian pada struktur batu kapur yang rapuh demi memasang fondasi lift di nilai berisiko memicu ketidakstabilan geomorfologis.

Pemerintah Kabupaten Klungkung mengklaim bahwa investor telah mengantongi izin melalui sistem OSS (Online Single Submission). Namun, sejumlah dokumen seperti izin mitigasi bencana, AMDAL lanjutan, dan kajian keselamatan di sebut-sebut belum sempurna.

Bagi masyarakat lokal, pembangunan fasilitas raksasa di tebing Kelingking di pandang sebagai bentuk eksploitasi berlebihan yang tidak memperhatikan keberlanjutan lingkungan dan nilai-nilai kearifan lokal seperti “Tri Hita Karana”.

Protes Masyarakat Bali, dengan demikian, ketika alat berat kembali terlihat di lokasi proyek pada akhir 2025, gelombang protes kembali menguat. Warga Bali, terutama masyarakat Nusa Penida, menuntut transparansi total serta penghentian proyek hingga seluruh kajian selesai dan di sampaikan kepada publik.

Gelombang Penolakan Dari Warga, Aktivis, Dan Komunitas Lokal

Gelombang Penolakan Dari Warga, Aktivis, Dan Komunitas Lokal, penolakan terhadap pembangunan lift kaca di Pantai Kelingking tidak hanya datang dari segelintir kelompok, melainkan membesar menjadi gelombang aspirasi masyarakat lintas komunitas di Bali. Banyak warga menilai bahwa pembangunan lift setinggi puluhan lantai itu dapat menghilangkan kesan alami yang selama ini menjadi perangkat penting dalam menarik wisatawan.

Komunitas adat juga menyoroti aspek spiritual. Mereka memandang bahwa kawasan tebing Kelingking dan sekitarnya merupakan ruang alam yang memiliki nilai kesakralan tertentu. Prinsip “segara-gunung”, yang menekankan keseimbangan antara laut dan gunung dalam kosmologi Bali, di anggap harus dijaga. Dalam diskusi adat yang di lakukan oleh beberapa banjar, bahkan muncul pandangan bahwa memasang struktur logam raksasa pada tebing dapat di anggap sebagai tindakan yang mencederai “taksu” atau daya spiritual kawasan tersebut.

Sementara itu, aktivis lingkungan dari berbagai organisasi non-profit seperti WALHI Bali dan beberapa komunitas pecinta alam memberikan kritik tajam atas kurangnya transparansi dalam penyusunan analisis dampak lingkungan (AMDAL). Mereka menilai bahwa dokumen tersebut belum secara menyeluruh menghitung potensi kerusakan jangka panjang. Terutama terkait erosi tebing, gangguan pada habitat burung dan reptil lokal, serta perubahan tekanan pada struktur batu karst yang mudah rapuh.

Suara protes juga muncul dari pelaku usaha lokal seperti pemandu wisata dan pemilik homestay. Mereka khawatir bahwa pembangunan lift kaca akan memonopoli aliran pendapatan ke perusahaan besar atau investor asing, sementara masyarakat lokal hanya akan menjadi penonton.

Meningkatnya penolakan ini di perkuat dengan aksi simbolik yang di lakukan oleh kelompok masyarakat. Dalam beberapa kesempatan, warga menggelar ritual kecil berupa persembahyangan untuk “memohon perlindungan alam”.

Respons Pemerintah Bali, Regulasi Yang Di Persoalkan, Dan Ketegangan Antar-Institusi

Respons Pemerintah Bali, Regulasi Yang Di Persoalkan, Dan Ketegangan Antar-Institusi, Pemerintah Kabupaten Klungkung sebagai otoritas lokal yang menerbitkan izin awal memiliki kepentingan untuk menjaga investasi di wilayahnya. Mereka menyatakan bahwa seluruh izin teknis sudah melalui sistem nasional yang berlaku, yaitu OSS.

DPRD Provinsi Bali membentuk Panitia Khusus Tata Ruang, Aset, dan Perizinan (Pansus TRAP). Pansus menemukan bahwa ada potensi ketidaksesuaian antara izin yang terbit dan peraturan daerah Bali tentang tata ruang. Salah satunya adalah Perda yang mengatur zona rawan bencana. Yang secara spesifik membatasi pembangunan permanen berskala besar di area tebing curam yang rentan longsor. Selain itu, Pansus juga menemukan bahwa pengembang belum menyertakan kajian dampak bencana secara mendalam. Terutama yang terkait risiko struktur pada tebing karst.

Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Provinsi Bali kemudian bergerak cepat untuk melakukan inspeksi lapangan. Setelah mendapatkan rekomendasi dari DPRD, mereka memasang garis pembatas serta papan yang menyatakan bahwa lokasi tersebut “dalam penghentian sementara” sampai seluruh legalitas di periksa ulang.

Kementerian menekankan bahwa pembangunan di kawasan wisata strategis seperti Nusa Penida harus memenuhi standar keberlanjutan dan tidak boleh mengabaikan aspirasi masyarakat lokal. Hal ini membuat posisi pemerintah daerah semakin berada di bawah sorotan. Karena di anggap telah terburu-buru memberikan lampu hijau tanpa memastikan seluruh syarat terpenuhi.

Di sisi lain, investor dan pengembang proyek menyatakan bahwa mereka siap mengikuti prosedur ulang jika di minta. Namun mereka juga mengatakan bahwa percepatan proyek sangat penting untuk mencegah peningkatan biaya konstruksi akibat inflasi dan perubahan harga material. Pernyataan ini menimbulkan reaksi negatif di masyarakat.

Situasi ini menciptakan dinamika kompleks di mana kepentingan ekonomi, politik lokal, regulasi hukum, dan nilai budaya saling bertabrakan. Pemerintah provinsi ingin menunjukkan komitmen menjaga Bali dari pembangunan berlebihan. Pemerintah kabupaten ingin mempertahankan investasi, investor ingin melanjutkan proyek tanpa hambatan, sementara masyarakat lokal dan aktivis menuntut penghentian total.

Sikap Pemerintah Pusat, Masa Depan Proyek, Dan Harapan Masyarakat

Sikap Pemerintah Pusat, Masa Depan Proyek, Dan Harapan Masyarakat, pemerintah pusat melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif akhirnya turun tangan memberikan pernyataan resmi mengenai polemik proyek lift kaca. Wakil Menteri Ni Luh Puspa menyebut bahwa pemerintah pusat tidak menutup mata terhadap kekhawatiran masyarakat dan menegaskan bahwa setiap pengembangan pariwisata harus selaras dengan prinsip keberlanjutan.

Kemenparekraf menyatakan akan bekerja sama dengan pemerintah provinsi dan kabupaten untuk melakukan audit total terhadap dokumen AMDAL. Kajian mitigasi bencana, hingga perhitungan beban struktur pada tebing karst. Pemerintah pusat juga berencana mengundang tim geoteknik independen untuk melakukan evaluasi ulang. Demi memastikan bahwa tidak ada potensi bencana yang terabaikan.

Di sisi lain, pengembang proyek mengeklaim bahwa mereka terbuka terhadap rekomendasi pemerintah dan siap menyesuaikan desain apabila di perlukan. Mereka juga menyatakan memiliki visi menjadikan Kelingking sebagai “wisata akses premium”. Yang tidak hanya aman tetapi juga ramah bagi wisatawan lanjut usia atau individu dengan keterbatasan mobilitas yang tidak dapat menuruni jalur trekking curam.

Harapan masyarakat lokal terhadap masa depan proyek ini beragam, tetapi sebagian besar menginginkan satu hal: proses yang transparan. Mereka ingin di libatkan dalam konsultasi publik yang sebenar-benarnya, bukan sekadar formalitas. Banyak warga menyampaikan bahwa mereka tidak menolak pariwisata, tetapi menolak pembangunan yang merusak.

Sejumlah alternatif juga muncul dari kelompok arsitek dan aktivis lingkungan. Seperti gagasan membangun jalur tangga alami yang di perkuat dengan teknologi modern tanpa struktur besar yang mengubah tebing. Ada pula usulan membatasi jumlah wisatawan per hari agar tekanan terhadap ekosistem tidak meningkat.

Dengan meningkatnya tekanan publik dan semakin intensifnya pengawasan pemerintah, masa depan proyek lift kaca ini masih menggantung. Namun satu hal yang pasti: kasus Kelingking telah menjadi simbol penting tentang bagaimana Bali harus menata masa depan pariwisatanya. Antara pertumbuhan ekonomi dan pelestarian alam yang menjadi identitas sejati pulau ini Protes Masyarakat Bali.

Exit mobile version