Ahli Onkologi Ungkap Tantangan Mendeteksi Kanker Payudara
Ahli Onkologi Ungkap Tantangan Mendeteksi Kanker Payudara

Ahli Onkologi Ungkap Tantangan Mendeteksi Kanker Payudara

Ahli Onkologi Ungkap Tantangan Mendeteksi Kanker Payudara

Facebook Twitter WhatsApp Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email Print
Ahli Onkologi Ungkap Tantangan Mendeteksi Kanker Payudara
Ahli Onkologi Ungkap Tantangan Mendeteksi Kanker Payudara

Ahli Onkologi, kanker payudara masih menjadi salah satu penyebab utama kematian pada perempuan di seluruh dunia, dan deteksi dini selalu di sebut sebagai faktor penentu keberhasilan pengobatan. Namun, meski kampanye kesadaran telah di lakukan secara masif, para ahli onkologi menegaskan bahwa mendeteksi kanker payudara pada tahap awal tidaklah semudah yang di bayangkan. Tantangan utama terletak pada keragaman biologis tumor, keterbatasan akses pemeriksaan, serta faktor sosial dan budaya yang masih menghambat banyak perempuan untuk melakukan skrining secara rutin.

Menurut laporan Global Cancer Observatory (GLOBOCAN) 2024, lebih dari 2,5 juta kasus kanker payudara baru terdiagnosis di seluruh dunia setiap tahun, dengan angka kematian mencapai lebih dari 600.000 jiwa. Di Indonesia, kasus baru meningkat tajam hampir 30% dalam lima tahun terakhir, menjadikan penyakit ini sebagai kanker paling umum di antara perempuan. Namun, sekitar 60% pasien baru datang ketika kanker sudah memasuki stadium lanjut (stadium III atau IV), di mana kemungkinan sembuh menurun drastis.

Dr. Rani Wicaksono, seorang onkologi dari Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta, menjelaskan bahwa hambatan terbesar dalam deteksi dini adalah kurangnya pemeriksaan rutin seperti mamografi dan USG payudara. “Banyak pasien tidak menyadari pentingnya pemeriksaan rutin. Mereka baru datang setelah merasakan benjolan atau gejala, padahal itu sudah terlambat,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa di daerah pedesaan, fasilitas pemeriksaan mamografi masih terbatas, dan biaya pemeriksaan masih menjadi kendala besar bagi sebagian masyarakat.

Ahli Onkologi, “Kanker payudara bukan hanya penyakit medis, tetapi juga masalah sosial. Selama masih ada stigma dan minimnya pemahaman, deteksi dini akan selalu tertinggal dari kebutuhan.” Ia berharap pemerintah daerah dan lembaga masyarakat dapat meningkatkan peran edukasi publik agar pemeriksaan payudara menjadi kebiasaan rutin bagi perempuan usia produktif.

Teknologi Diagnosis Kian Canggih, Tapi Belum Merata Menurut Ahli Onkologi

Teknologi Diagnosis Kian Canggih, Tapi Belum Merata Menurut Ahli Onkologi dalam satu dekade terakhir, kemajuan teknologi kedokteran telah membawa harapan baru dalam deteksi kanker payudara. Pemeriksaan berbasis molecular imaging, AI-assisted mammography, dan liquid biopsy mulai di terapkan di berbagai rumah sakit besar dunia. Teknologi ini memungkinkan deteksi lebih akurat bahkan sebelum tumor mencapai ukuran yang dapat dirasakan secara manual. Namun, para ahli menegaskan bahwa kemajuan ini belum merata, terutama di negara-negara dengan sumber daya terbatas.

Salah satu teknologi yang sedang naik daun adalah mammografi berbasis kecerdasan buatan (AI). Algoritma AI mampu menganalisis gambar payudara dengan presisi tinggi dan mengenali pola yang sulit di deteksi oleh mata manusia. Dalam studi di Inggris dan Swedia, penggunaan AI membantu radiolog mengurangi tingkat kesalahan diagnosis hingga 20%. Namun, penerapan sistem ini di Indonesia masih terkendala oleh biaya perangkat, pelatihan tenaga medis, dan infrastruktur data yang belum memadai.

Selain itu, metode MRI payudara dinamis (Dynamic Contrast-Enhanced MRI) semakin populer karena sensitivitasnya yang tinggi terhadap perubahan vaskularisasi tumor. Sayangnya, alat MRI berbiaya tinggi dan hanya tersedia di rumah sakit besar di kota-kota utama. Bagi pasien di daerah terpencil, akses ke fasilitas tersebut nyaris mustahil tanpa dukungan subsidi atau rujukan ke ibu kota provinsi.

Teknologi liquid biopsy yang mendeteksi DNA tumor dari darah juga menjanjikan revolusi dalam diagnosis dini. Metode ini non-invasif dan dapat mengidentifikasi mutasi genetik yang berkaitan dengan kanker payudara, bahkan sebelum gejala muncul. Meski begitu, penelitian masih berlangsung untuk memastikan akurasinya pada populasi luas.

Meskipun demikian, para ahli sepakat bahwa teknologi hanyalah alat bantu. Tanpa kesadaran masyarakat untuk melakukan pemeriksaan rutin, kemajuan apa pun tidak akan berarti banyak. Karena itu, sinergi antara teknologi, edukasi publik, dan kebijakan pemerintah menjadi fondasi utama dalam memperkuat sistem deteksi dini kanker payudara secara nasional.

Peran Edukasi Publik Dan Keterlibatan Komunitas

Peran Edukasi Publik Dan Keterlibatan Komunitas salah satu faktor paling penting namun sering di abaikan dalam upaya deteksi kanker payudara adalah edukasi publik. Menurut data WHO, lebih dari 40% perempuan di negara berkembang belum pernah melakukan pemeriksaan payudara sendiri (SADARI) maupun skrining klinis. Padahal, kesadaran melakukan SADARI secara rutin terbukti mampu meningkatkan deteksi dini hingga dua kali lipat.

Di Indonesia, kampanye kesadaran kanker payudara meningkat setiap Oktober melalui gerakan “Pink Ribbon” atau Bulan Peduli Kanker Payudara. Namun, para ahli menilai upaya ini masih bersifat seremonial dan belum berkelanjutan. Program edukasi sering kali hanya berlangsung di kota besar, sedangkan daerah rural yang justru memiliki risiko keterlambatan diagnosis belum tersentuh secara memadai.

Dr. Fitri Mulyani, aktivis sekaligus survivor kanker payudara, menekankan pentingnya pendekatan berbasis komunitas. “Perempuan cenderung lebih mudah terbuka jika edukasi di lakukan oleh sesama perempuan dari lingkungannya sendiri. Pendekatan emosional dan personal lebih efektif di bandingkan ceramah formal,” ujarnya. Ia mendirikan program relawan “Sahabat Pink” yang melatih kader kesehatan desa untuk mengajarkan SADARI dan memberikan informasi tentang gejala awal kanker payudara.

Selain itu, keterlibatan media sosial juga terbukti efektif dalam meningkatkan kesadaran generasi muda. Kampanye digital melalui video edukatif, infografis, dan testimoni pasien membuat pesan pencegahan lebih mudah di terima. Namun, masih ada tantangan berupa hoaks kesehatan yang menyebar cepat di dunia maya. Banyak informasi salah mengenai penyebab kanker payudara atau pengobatan alternatif tanpa bukti ilmiah yang justru menyesatkan masyarakat.

Pendidikan kesehatan juga perlu menyasar keluarga, bukan hanya individu. Dukungan pasangan dan anak sangat penting dalam mendorong perempuan untuk melakukan pemeriksaan. Dalam budaya tertentu, perempuan masih menganggap pemeriksaan payudara sebagai hal tabu, sehingga dukungan lingkungan menjadi faktor krusial.

Harapan Baru Melalui Inovasi Dan Kolaborasi Global

Harapan Baru Melalui Inovasi Dan Kolaborasi Global meski tantangan deteksi dini kanker payudara masih besar. Harapan baru terus bermunculan berkat inovasi dan kolaborasi global. Dunia kedokteran kini bergerak menuju pendekatan personalized medicine, yaitu strategi deteksi dan pengobatan berdasarkan profil genetik masing-masing pasien. Dengan pendekatan ini, diagnosis dapat dilakukan lebih akurat dan terapi disesuaikan dengan karakteristik biologis tumor individu.

Kemajuan dalam teknologi genomik memungkinkan peneliti mengidentifikasi gen predisposisi seperti BRCA1 dan BRCA2, yang meningkatkan risiko kanker payudara. Pemeriksaan genetik kini semakin terjangkau dan dapat digunakan untuk menentukan strategi pencegahan bagi individu berisiko tinggi. Di masa depan, skrining berbasis genetik mungkin menjadi bagian dari pemeriksaan rutin kesehatan perempuan.

Selain aspek teknologi, kerja sama internasional juga menjadi pendorong utama. WHO, bersama lembaga seperti International Agency for Research on Cancer (IARC). Terus memperluas program pelatihan dokter dan radiolog di negara berkembang. Dukungan dana riset dari lembaga seperti Gates Foundation dan Global Cancer Initiative juga. Mempercepat pengembangan alat skrining berbiaya rendah yang bisa digunakan di daerah terpencil.

Indonesia sendiri mulai aktif dalam kerja sama regional melalui ASEAN Cancer Network, yang berfokus pada standarisasi deteksi dini dan pelatihan tenaga medis. Kolaborasi ini diharapkan dapat mempercepat transfer teknologi dan memperkuat sistem nasional penanggulangan kanker.

Namun, para ahli mengingatkan bahwa inovasi tidak akan bermakna tanpa perubahan kebijakan dan perilaku masyarakat. Pemerintah perlu memperkuat pendanaan untuk riset kanker, memperluas jaminan kesehatan untuk skrining rutin, dan mengintegrasikan edukasi kanker payudara dalam kurikulum kesehatan masyarakat.

Seperti dikatakan Dr. Rani dalam wawancara terakhirnya, “Kanker payudara bisa dicegah dan disembuhkan jika ditemukan lebih awal. Tapi deteksi dini bukan hanya urusan rumah sakit — ini tanggung jawab kita semua.”
>Pernyataan itu menggambarkan esensi perjuangan melawan kanker payudara: bahwa teknologi, ilmu pengetahuan, dan kepedulian sosial harus berjalan beriringan demi menyelamatkan lebih banyak nyawa perempuan di masa depan dengan Ahli Onkologi.

Share : Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email WhatsApp Print

Artikel Terkait