Inet
Infrastruktur Internet Global Dianggap Rapuh: Dunia Terancam
Infrastruktur Internet Global Dianggap Rapuh: Dunia Terancam

Infrastruktur Internet Global dalam era yang semakin terkoneksi, dunia bergantung sepenuhnya pada infrastruktur internet yang kompleks, namun ironisnya sangat rapuh. Dari kabel bawah laut yang melintang di samudra hingga server data raksasa yang menopang miliaran komunikasi setiap detik, fondasi dunia digital ternyata jauh lebih mudah terganggu daripada yang di bayangkan. Para ahli kini memperingatkan bahwa krisis global baru — bukan karena perang atau pandemi — tetapi karena kolapsnya jaringan internet dunia, bisa terjadi kapan saja.
Laporan terbaru dari Global Cyber Infrastructure Forum (GCIF) 2025 menunjukkan bahwa lebih dari 95% lalu lintas data internasional dunia bergantung pada lebih dari 550 kabel bawah laut yang membentang di seluruh lautan. Meskipun teknologi jaringan semakin canggih, faktanya sebagian besar infrastruktur ini di miliki oleh segelintir perusahaan besar seperti Google, Meta, dan Amazon. Ketergantungan ekstrem pada segelintir entitas komersial membuat sistem ini rawan terhadap gangguan fisik, bencana alam, maupun serangan siber terkoordinasi.
Salah satu kasus yang sempat mengguncang adalah kerusakan kabel bawah laut di Laut Merah pada Maret 2025, yang menyebabkan gangguan besar di kawasan Afrika Timur dan Timur Tengah. Puluhan negara mengalami penurunan konektivitas hingga 60%, menyebabkan perdagangan digital lumpuh dan layanan keuangan daring terganggu. “Kita berbicara tentang dunia yang seolah kuat, padahal berdiri di atas fondasi kaca,” ujar Dr. Markus Heine, pakar keamanan jaringan dari European Cyber Institute.
Infrastruktur Internet Global dunia di hadapkan pada kenyataan pahit: kita telah membangun peradaban yang seluruhnya bergantung pada jaringan rapuh yang tak kasatmata. Sekali saja sistem itu retak, dampaknya bisa lebih besar daripada krisis energi atau bahkan resesi global.
Infrastruktur Internet Global Dengan Kabel Bawah Laut: Urat Nadi Dunia Yang Tak Terlindungi
Infrastruktur Internet Global Dengan Kabel Bawah Laut: Urat Nadi Dunia Yang Tak Terlindungi membayangkan bahwa internet adalah awan digital yang melayang bebas di udara. Faktanya, 99% data lintas benua justru melewati kabel fisik yang di tanam di dasar laut. Jaringan kabel bawah laut inilah yang menjadi tulang punggung dunia modern — menghubungkan bursa saham di New York dengan server di London, hingga data perbankan di Singapura dengan sistem pembayaran di San Francisco.
Namun, di balik kecanggihan itu, sistem ini sangat rapuh. Kabel sepanjang ribuan kilometer yang terbentang di bawah laut ternyata bisa rusak hanya karena jangkar kapal, gempa bawah laut, atau bahkan aktivitas ikan paus besar. Dalam banyak kasus, perbaikan satu titik kabel bisa memakan waktu berminggu-minggu dan biaya jutaan dolar.
Menurut laporan Submarine Cable Map 2025, terdapat sekitar 1,3 juta kilometer kabel bawah laut aktif di seluruh dunia, namun hanya segelintir kapal khusus yang mampu memperbaiki kerusakan. Artinya, jika terjadi gangguan besar secara simultan — misalnya akibat gempa besar di Pasifik atau sabotase — sebagian besar wilayah dunia bisa kehilangan koneksi dalam hitungan jam.
Para analis keamanan internasional juga menyoroti potensi sabotase sebagai ancaman serius. Tahun 2023, intelijen Norwegia melaporkan adanya aktivitas mencurigakan kapal riset milik Rusia di dekat jaringan kabel North Sea Link yang menghubungkan Inggris dan Norwegia. Beberapa pekan kemudian, jaringan tersebut mengalami gangguan besar. Meski belum terbukti sebagai tindakan sabotase, kasus ini menunjukkan betapa mudahnya titik vital dunia digital di serang.
Selain ancaman fisik, kontrol ekonomi atas kabel bawah laut juga menjadi isu strategis. Lebih dari 70% proyek pembangunan kabel baru saat ini di biayai oleh raksasa teknologi seperti Google, Meta, dan Amazon. Artinya, akses informasi global kini secara de facto di monopoli oleh sektor swasta. Ketika infrastruktur publik bergantung pada kepemilikan korporasi, muncul pertanyaan etis dan politik yang sulit di hindari: siapa sebenarnya yang mengendalikan dunia digital ini?
Pusat Data, Cloud, Dan Risiko Keruntuhan Sistemik
Pusat Data, Cloud, Dan Risiko Keruntuhan Sistemik ancaman besar terhadap stabilitas internet global datang dari pusat data (data center) — otak dari dunia digital. Saat ini, lebih dari 8.000 pusat data besar tersebar di berbagai negara, mengelola miliaran transaksi dan komunikasi setiap detik. Namun meskipun tampak kuat, sistem ini sangat sensitif terhadap gangguan fisik, energi, dan siber.
Serangan siber terhadap pusat data meningkat 300% dalam dua tahun terakhir. Tahun 2024, serangan ransomware berskala besar melumpuhkan operasi tiga penyedia cloud utama di Asia selama hampir 36 jam. Dampaknya luar biasa: ribuan bank tidak bisa memproses transaksi, layanan transportasi publik berhenti, dan bahkan rumah sakit tidak bisa mengakses rekam medis pasien.
Ketergantungan terhadap layanan cloud seperti AWS, Google Cloud, dan Microsoft Azure. Kini menimbulkan apa yang disebut para pakar sebagai “risiko konsentrasi.” Jika satu penyedia besar terganggu, efeknya bisa menjalar ke seluruh dunia. Dr. Ethan Kwan, pakar keamanan dari Stanford University, memperingatkan bahwa “keruntuhan satu raksasa cloud bisa menimbulkan efek berantai seperti krisis finansial 2008, tetapi dalam bentuk digital.”
Kerentanan juga muncul dari perubahan iklim. Banjir besar di Texas pada awal 2025 sempat menenggelamkan beberapa fasilitas server, menimbulkan kerugian miliaran dolar. Di sisi lain, panas ekstrem di India memaksa beberapa pusat data menurunkan kapasitas karena pendingin gagal berfungsi optimal. Dalam skenario global yang semakin ekstrem, infrastruktur fisik yang menopang internet tidak di rancang untuk menahan tekanan lingkungan sebesar ini.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah potensi keruntuhan sistemik: sebuah skenario di mana. Gangguan simultan terhadap beberapa elemen utama internet — kabel bawah laut, DNS global. Dan pusat data besar — memicu “blackout digital” berskala planet. Para ahli memperingatkan bahwa jika itu terjadi, layanan vital seperti sistem perbankan. Logistik, komunikasi satelit, hingga navigasi udara dapat lumpuh dalam hitungan jam. Dunia bisa memasuki “era senyap digital,” di mana konektivitas global berhenti total.
Membangun Ketahanan Digital Dunia: Jalan Panjang Menuju Kedaulatan Teknologi
Membangun Ketahanan Digital Dunia: Jalan Panjang Menuju Kedaulatan Teknologi akan rapuhnya infrastruktur internet global. Telah memicu seruan untuk membangun sistem yang lebih tangguh dan terdistribusi. Banyak negara kini mulai mengembangkan strategi digital sovereignty — kedaulatan digital. Untuk memastikan mereka tidak sepenuhnya bergantung pada jaringan global yang di kendalikan korporasi asing.
Uni Eropa, misalnya, telah meluncurkan proyek Gaia-X, sebuah inisiatif untuk menciptakan ekosistem cloud yang terbuka dan aman di kawasan Eropa. Sementara itu, Tiongkok mempercepat pembangunan “internet nasional” yang bisa beroperasi mandiri jika koneksi global terputus. Afrika pun mulai membangun jaringan kabel antarnegara untuk mengurangi ketergantungan pada jalur lintas laut yang dimiliki perusahaan asing.
Namun tantangannya tidak kecil. Membangun infrastruktur alternatif membutuhkan dana besar, keahlian teknis, dan kerja sama internasional yang solid. Di sisi lain, raksasa teknologi global terus memperluas dominasinya melalui investasi dan akuisisi di bidang konektivitas. “Jika tidak ada regulasi global yang tegas, dunia akan tetap terjebak dalam sistem. Yang di kendalikan oleh segelintir perusahaan,” kata Dr. Sophie Laurent, direktur GCIF.
Beberapa pakar mendorong penerapan konsep internet mesh global — jaringan terdesentralisasi yang memungkinkan komunikasi tetap berjalan meski koneksi utama terganggu. Teknologi satelit seperti Starlink, OneWeb, dan Kuiper juga dianggap sebagai solusi potensial untuk memperkuat resilien jaringan dunia. Namun, inisiatif ini juga menimbulkan kekhawatiran baru: monopoli akses ruang angkasa oleh perusahaan swasta.
Yang pasti, dunia kini tidak bisa lagi menganggap internet sebagai sesuatu yang tak tergoyahkan. Krisis global akibat keruntuhan infrastruktur digital bukan lagi kemungkinan jauh, melainkan ancaman nyata yang menunggu waktu.
Jika peradaban modern adalah bangunan megah yang berdiri di atas pondasi digital, maka retakan pertama sudah mulai terlihat. Kita hidup dalam dunia yang semakin bergantung pada konektivitas, namun semakin sedikit yang benar-benar memahami betapa rapuhnya jaringan itu. Seperti sistem pernapasan yang tak terlihat, internet menopang segalanya — dan ketika. Ia berhenti, dunia pun ikut berhenti bernapas dengan Infrastruktur Internet Global.