Hot
Protes Meluas, Pemerintah Setujui Pemangkasan Fasilitas DPR
Protes Meluas, Pemerintah Setujui Pemangkasan Fasilitas DPR

Protes Meluas, gelombang protes publik terhadap kemewahan fasilitas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhirnya memaksa pemerintah mengambil langkah tegas. Setelah sepekan penuh tekanan sosial dan demonstrasi di berbagai kota besar, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati secara resmi mengumumkan bahwa pemerintah menyetujui pemangkasan sejumlah fasilitas DPR mulai tahun anggaran 2026.
Dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (10/11), Sri Mulyani menegaskan keputusan tersebut bukan sekadar respons emosional terhadap tekanan publik, melainkan bagian dari penataan anggaran nasional di tengah kondisi ekonomi yang menantang. “Kami mendengar suara masyarakat. Pemerintah berkomitmen menjaga keadilan anggaran dan memastikan belanja negara di gunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat,” ujarnya dengan nada tegas.
Gelombang ketidakpuasan publik bermula dari bocornya dokumen internal DPR yang menunjukkan rencana penambahan fasilitas baru bagi anggota legislatif, termasuk proyek renovasi gedung DPR senilai Rp1,2 triliun dan pengadaan kendaraan dinas senilai Rp780 miliar. Rencana itu muncul di tengah situasi ekonomi sulit, ketika harga kebutuhan pokok melonjak dan subsidi energi kembali membebani APBN.
Media sosial pun meledak. Tagar #PotongFasilitasDPR dan #RakyatLebihButuh mendominasi lini masa, dengan jutaan unggahan yang menyoroti kesenjangan antara gaya hidup pejabat dan realitas rakyat. Demonstrasi mahasiswa di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta memanas, membawa spanduk bertuliskan “Wakil Rakyat, Bukan Raja” dan “Hentikan Kemewahan di Atas Penderitaan.”
Presiden Joko Widodo akhirnya turun tangan. Dalam pernyataannya di Istana Negara, ia menegaskan bahwa setiap pejabat publik, termasuk anggota DPR, harus menjadi contoh hidup sederhana. “Kita sedang menghadapi masa sulit. Semua harus berhemat, terutama mereka yang di beri amanah mewakili rakyat,” ucapnya.
Protes Meluas, langkah pemerintah ini di anggap sebagai respons moral dan politik terhadap krisis kepercayaan publik yang kian dalam. Sejumlah lembaga survei mencatat tingkat kepercayaan terhadap DPR sempat turun drastis menjadi hanya 24% pada Oktober 2025, terendah sejak 2018.
Rincian Pemangkasan Dan Arah Baru Anggaran
Rincian Pemangkasan Dan Arah Baru Anggaran, Kementerian Keuangan menyebutkan bahwa total anggaran DPR dalam APBN 2025 mencapai Rp8,5 triliun, dan untuk tahun depan akan di pangkas sekitar Rp3,8 triliun. Pemangkasan ini mencakup berbagai pos belanja non-esensial yang selama ini menuai kritik tajam.
Beberapa rincian kebijakan pemangkasan antara lain:
- Penghapusan kendaraan dinas pribadi anggota DPR. Fasilitas tersebut di ganti dengan sistem transportasi bersama (pool car) untuk efisiensi dan pengawasan penggunaan kendaraan.
- Pembatalan proyek renovasi gedung DPR tahap dua, senilai Rp1,2 triliun, yang sebelumnya akan mencakup pembangunan ruang kerja baru dan gedung parkir bawah tanah.
- Pemangkasan biaya perjalanan dinas luar negeri sebesar 60%, hanya memperbolehkan perjalanan dengan tujuan diplomatik strategis dan kerja sama internasional yang memiliki dampak langsung pada kebijakan nasional.
- Pengurangan anggaran rapat, representasi, dan kegiatan sosialisasi hingga Rp400 miliar, termasuk pembatasan kunjungan reses yang tidak produktif.
Dana hasil efisiensi tersebut akan di alihkan untuk tiga sektor utama: pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial. Di antaranya, perbaikan 3.500 sekolah rusak di daerah tertinggal, peningkatan anggaran Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah, dan program bantuan gizi untuk 1,2 juta keluarga miskin.
Namun, tidak semua pihak menyambut baik. Ketua DPR Puan Maharani menyatakan bahwa DPR menghormati keputusan pemerintah, tetapi mengingatkan agar perubahan besar ini di bahas secara konstitusional antara eksekutif dan legislatif. “Kami memahami sentimen publik, namun tata kelola keuangan DPR harus tetap melalui mekanisme yang sah,” katanya di Kompleks Parlemen Senayan.
Sementara itu, sejumlah anggota DPR dari fraksi oposisi menuding kebijakan ini bermuatan politis. Mereka menilai pemerintah memanfaatkan momen krisis kepercayaan untuk memperkuat citra. “Kalau mau efisiensi, jangan hanya DPR. Lihat juga kementerian yang belanjanya jauh lebih besar,” ujar anggota Fraksi PKS Mardani Ali Sera.
Respon Masyarakat Dan Aktivis: “Kemenangan Moral Rakyat”
Respon Masyarakat Dan Aktivis: “Kemenangan Moral Rakyat”, keputusan pemerintah di sambut gegap gempita oleh masyarakat dan aktivis antikorupsi. Bagi mereka, ini bukan sekadar kebijakan ekonomi, melainkan simbol kemenangan moral rakyat terhadap elitisasi kekuasaan.
Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut pemangkasan fasilitas DPR sebagai langkah awal menuju transparansi keuangan lembaga legislatif. “Selama ini, DPR adalah lembaga dengan salah satu anggaran operasional tertinggi namun produktivitas terendah,” kata peneliti ICW, Egi Primayogha. Ia mencatat bahwa dari 248 RUU dalam Prolegnas 2024–2025, baru 51% yang selesai di bahas.
Bagi Egi, wajar bila publik geram. “DPR adalah simbol representasi rakyat. Ketika rakyat berjuang membeli beras dan listrik, mereka tak seharusnya menikmati mobil baru dari uang pajak,” ujarnya.
Dukungan juga datang dari Aliansi BEM Seluruh Indonesia (BEM SI) yang sebelumnya menggelar aksi serentak di 12 kota. “Ini bukti suara mahasiswa masih bisa mengubah kebijakan,” kata Koordinator Nasional BEM SI, Naufal Pratama. Mereka menuntut agar keputusan ini di sertai audit terbuka atas semua pengeluaran DPR, termasuk dana reses dan tunjangan perjalanan.
Selain kelompok mahasiswa, Forum Masyarakat Transparansi Anggaran (Formata) menilai bahwa BPK perlu segera melakukan audit kinerja DPR. “Selama ini DPR memeriksa pemerintah, tapi jarang di periksa dengan ketat. Sudah saatnya ada audit menyeluruh, bukan hanya administratif,” ujar juru bicara Formata, Dian Putri.
Gelombang dukungan publik terus meluas di media sosial. Banyak warganet menyebut langkah ini sebagai “awal kebangkitan kesadaran rakyat”. Salah satu unggahan viral menyebut, “Kalau DPR bisa di pangkas, berarti rakyat masih punya suara.”
Namun, di sisi lain, beberapa pengamat memperingatkan agar kebijakan ini tidak berhenti sebagai “simbol populis”. “Kalau tidak ada pengawasan ketat, tahun depan fasilitas itu bisa muncul lagi dalam APBN Perubahan,” kata pengamat politik UGM, Dr. Zainal Arifin Mochtar.
Tantangan Implementasi Dan Masa Depan Reformasi Politik
Tantangan Implementasi Dan Masa Depan Reformasi Politik, meski keputusan pemangkasan fasilitas DPR menuai pujian luas, tantangan implementasinya tetap besar. Dalam struktur anggaran negara, DPR memiliki sejumlah celah yang memungkinkan revisi dan tambahan anggaran lewat mekanisme APBN-P. Jika tidak di kontrol ketat, fasilitas yang sudah di pangkas bisa muncul kembali dengan nomenklatur berbeda.
Pengamat ekonomi politik Faisal Basri menilai bahwa kebijakan ini baru akan efektif jika di sertai pembaruan sistem transparansi digital, seperti pelaporan publik berbasis daring atas penggunaan setiap rupiah di DPR. “Transparansi tidak bisa hanya di umumkan lewat konferensi pers. Publik harus bisa memantau realisasi anggaran secara real-time,” ujarnya.
Selain itu, Faisal menyoroti bahwa penghematan anggaran di DPR seharusnya menjadi bagian dari reformasi birokrasi politik yang lebih luas. Ia mencontohkan, belanja untuk staf ahli, perjalanan luar negeri, dan honorarium anggota komisi sering kali tidak terukur dampaknya terhadap produktivitas legislasi. “Kita harus mulai mengukur output, bukan hanya input,” katanya.
Dari sisi politik, keputusan ini menjadi ujian besar bagi hubungan antara eksekutif dan legislatif. Meski pemerintah berupaya tampil sebagai pihak yang berpihak kepada rakyat, DPR memiliki kewenangan penuh dalam pembahasan APBN. Jika resistensi politik meningkat, kebijakan ini bisa berubah menjadi perdebatan panjang di Senayan.
Sosiolog politik Burhanuddin Muhtadi menyebut bahwa langkah ini memiliki dampak psikologis kuat terhadap citra politik menjelang tahun pemilu daerah. “Bagi rakyat, ini simbol bahwa pejabat bisa di tekan oleh opini publik. Bagi politisi, ini pengingat bahwa zaman sudah berubah — kemewahan tidak lagi bisa di sembunyikan,” ujarnya.
Beberapa analis bahkan melihat keputusan ini sebagai awal pergeseran paradigma politik di Indonesia — dari politik elitis menuju politik partisipatif. Rakyat, lewat tekanan sosial, berhasil mengubah arah kebijakan negara. “Ini adalah bukti bahwa demokrasi tidak hanya berlangsung di bilik suara, tapi juga di jalanan dan media sosial,” tulis kolumnis Anita Rahmawati dalam analisisnya di harian Tempo Protes Meluas.