Inet
Regulasi Internet Di Indonesia Dinilai Belum Penuhi Standar HAM
Regulasi Internet Di Indonesia Dinilai Belum Penuhi Standar HAM

Regulasi Internet, di tengah pesatnya pertumbuhan pengguna internet di Indonesia—yang kini telah menembus lebih dari 221 juta orang menurut data APJII 2025—perdebatan tentang batas antara keamanan digital dan kebebasan berekspresi semakin mengemuka. Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) terus berupaya memperkuat regulasi di ruang siber. Termasuk dengan memperbarui aturan terkait penyelenggara sistem elektronik (PSE), perlindungan data pribadi, serta pengawasan konten digital.
Namun, sejumlah organisasi masyarakat sipil menilai bahwa kebijakan tersebut masih menyisakan masalah serius. Lembaga seperti SAFEnet (Southeast Asia Freedom of Expression Network) dan PSHK (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan) menilai bahwa beberapa pasal dalam regulasi internet di Indonesia belum memenuhi standar hak asasi manusia (HAM) yang di akui secara internasional.
Menurut peneliti PSHK, Eka Wahyu Arif, masalah utama terletak pada paradigma kebijakan yang terlalu menitikberatkan pada kontrol, bukan perlindungan. “Negara seolah ingin menciptakan internet yang steril dari kritik, padahal ruang digital adalah bagian penting dari kebebasan berekspresi warga,” ujarnya.
Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah kasus menunjukkan bagaimana regulasi digital dapat di gunakan untuk menekan kritik publik. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) misalnya, masih sering di gunakan untuk menjerat aktivis, jurnalis, atau warga biasa karena unggahan di media sosial. Walaupun pemerintah telah melakukan revisi terbatas terhadap UU ITE, pasal-pasal multitafsir seperti pencemaran nama baik atau penyebaran informasi yang di anggap “mengganggu ketertiban umum” masih menimbulkan kekhawatiran.
Regulasi Internet, dengan semakin kuatnya infrastruktur pengawasan digital negara—mulai dari sistem crawling otomatis hingga kerja sama dengan platform besar seperti Meta dan Google—kekhawatiran tentang potensi penyalahgunaan kekuasaan semakin besar. Beberapa aktivis bahkan menyebut kondisi ini sebagai “era pengawasan diam-diam”. Di mana kontrol negara hadir tanpa batas jelas antara kepentingan publik dan politik.
Perbandingan Dengan Standar Internasional HAM Digital
Perbandingan Dengan Standar Internasional HAM Digital, ketika membicarakan regulasi internet dalam perspektif HAM, penting untuk mengacu pada prinsip-prinsip yang di atur oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Resolusi Dewan HAM PBB tahun 2016 menegaskan bahwa “hak asasi manusia yang berlaku di dunia nyata juga berlaku di dunia maya.” Artinya, kebebasan berpendapat, hak atas privasi, dan hak atas informasi tidak boleh di batasi secara sewenang-wenang oleh negara, bahkan di ruang digital.
Namun, Indonesia masih menghadapi tantangan besar untuk menyesuaikan diri dengan standar tersebut. Dalam laporan Freedom on the Net 2024 yang di rilis oleh Freedom House. Indonesia mendapat skor 48 dari 100—di kategorikan sebagai “partly free”. Penurunan ini di sebabkan oleh meningkatnya pembatasan akses informasi, pemblokiran situs, dan penangkapan atas dasar ekspresi online.
Negara-negara seperti Jepang, Jerman, dan Kanada berhasil menyeimbangkan keamanan digital dan perlindungan HAM. Dengan menempatkan mekanisme kontrol independen di luar pemerintah. Misalnya, di Jerman, penghapusan konten di lakukan oleh Bundesnetzagentur (otoritas independen), bukan langsung oleh kementerian. Sementara di Indonesia, kewenangan untuk memblokir situs atau menghapus konten masih terpusat di tangan Kominfo atau Komdigi, tanpa mekanisme banding yang kuat bagi publik.
Selain itu, pelaksanaan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) juga masih menghadapi hambatan. Walaupun sudah di sahkan, aturan turunannya belum sepenuhnya jelas, terutama terkait lembaga pengawas dan sanksi administratif. Hal ini berisiko membuat perlindungan data warga menjadi lemah, terutama di tengah maraknya kebocoran data yang melibatkan lembaga pemerintah sendiri.
Dalam konteks internasional, beberapa lembaga HAM menilai bahwa Indonesia perlu mencontoh model General Data Protection Regulation (GDPR) milik Uni Eropa yang menekankan prinsip consent dan transparency. Prinsip tersebut memastikan bahwa setiap bentuk pengumpulan dan pemrosesan data warga harus di lakukan dengan izin dan penjelasan yang jelas. Sayangnya, di Indonesia, masih banyak lembaga yang memanfaatkan data pribadi tanpa mekanisme persetujuan yang transparan.
Suara Masyarakat Sipil Dan Tuntutan Reformasi Regulasi
Suara Masyarakat Sipil Dan Tuntutan Reformasi Regulasi, kritik terhadap kebijakan digital di Indonesia tidak hanya datang dari lembaga HAM internasional, tetapi juga dari komunitas lokal yang aktif memperjuangkan kebebasan berekspresi. SAFEnet, misalnya, mencatat lebih dari 130 kasus pelanggaran kebebasan digital sepanjang 2024. Termasuk doxing, intimidasi online, dan kriminalisasi pengguna media sosial.
Direktur SAFEnet, Damar Juniarto, menilai bahwa ruang digital Indonesia telah menjadi arena yang tidak sepenuhnya aman. “Warga seringkali lebih takut berpendapat karena bisa saja di laporkan atau di serang balik secara siber. Ini bukan iklim demokratis yang sehat,” ujarnya.
Di sisi lain, lembaga seperti AJI (Aliansi Jurnalis Independen) juga menyoroti meningkatnya tekanan terhadap media daring. Pemblokiran situs berita alternatif, penyensoran konten investigatif, dan praktik shadow banning di platform sosial menjadi gejala pembungkaman yang sistematis.
AJI mendesak agar pemerintah meninjau ulang Peraturan Menteri Kominfo Nomor 5 Tahun 2020 tentang PSE. Karena di anggap memberikan kewenangan terlalu luas kepada negara untuk menghapus konten tanpa proses hukum yang transparan. Selain itu, mereka meminta agar revisi UU ITE di lakukan secara menyeluruh, bukan sekadar kosmetik.
Dalam beberapa forum publik, akademisi dan aktivis mengusulkan pembentukan Komisi Independen Kebebasan Digital (KIKD) sebagai lembaga pengawas yang memantau seluruh kebijakan terkait internet. Komisi ini di harapkan berfungsi layaknya ombudsman digital, dengan kewenangan menerima laporan, menilai pelanggaran, dan memberi rekomendasi kepada pemerintah.
Sementara itu, kalangan industri teknologi juga berharap agar regulasi lebih memberikan kepastian hukum dan ruang inovasi. Menurut Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), pelaku industri membutuhkan aturan yang jelas, tidak tumpang tindih, dan mendukung ekosistem digital nasional. “Kami mendukung keamanan digital, tapi jangan sampai regulasi justru menghambat inovasi,” ujar Ketua APJII, Muhammad Arif.
Harapan Ke Depan: Menata Kembali Regulasi Digital Yang Berkeadilan
Harapan Ke Depan: Menata Kembali Regulasi Digital Yang Berkeadilan, meski banyak tantangan, ada pula sinyal positif bahwa pemerintah mulai membuka ruang dialog. Dalam beberapa bulan terakhir, Kementerian Komdigi bersama sejumlah lembaga swadaya masyarakat mulai mengadakan konsultasi publik mengenai pembaruan kebijakan digital. Termasuk tata kelola konten dan perlindungan data pribadi.
Menkomdigi Meutya Hafid menegaskan bahwa pemerintah berkomitmen menyeimbangkan antara keamanan dan kebebasan digital. “Kami menyadari pentingnya memastikan internet yang aman sekaligus menghormati hak-hak warga negara,” ujarnya dalam konferensi pers awal November 2025.
Namun, agar pernyataan tersebut tidak sekadar retorika, langkah konkret perlu segera di lakukan. Pertama, pembentukan lembaga pengawas independen di sektor digital harus segera di wujudkan agar tidak terjadi konsentrasi kekuasaan pada satu kementerian. Kedua, mekanisme transparency report wajib di terapkan setiap kali ada pemblokiran atau takedown konten. Publik berhak mengetahui alasan dan proses di balik keputusan tersebut.
Ketiga, pendidikan literasi digital dan hak asasi digital perlu di perluas agar masyarakat memahami hak-haknya di dunia maya. Pendidikan ini penting bukan hanya untuk mencegah penyebaran hoaks. Tetapi juga untuk membangun kesadaran kritis bahwa kebebasan digital adalah bagian dari demokrasi modern.
Terakhir, Indonesia perlu memperkuat diplomasi digital di level ASEAN dan global. Dengan posisi strategis di Asia Tenggara, Indonesia memiliki peluang besar menjadi pelopor dalam tata kelola internet berbasis HAM. Seperti di sampaikan oleh Yose Rizal, analis kebijakan publik, “Kedaulatan digital tidak boleh di artikan sebagai kontrol negara semata, tapi harus berarti perlindungan hak-hak warganya.”
Jika arah kebijakan ini benar-benar di wujudkan, maka masa depan internet Indonesia bisa menjadi lebih terbuka, aman, dan adil. Bukan hanya bagi industri teknologi, tetapi juga bagi seluruh warga negara yang berhak menikmati ruang digital tanpa rasa takut Regulasi Internet.